Selasa, 15 Maret 2011

Bisnis kopi itu gampang, asal …

http://www.cikopi.com/2010/01/bisnis-kopi-itu-gampang-asal/Herb Hyman, penduduk asli kota Los Angeles cukup berdebar manakala warung kopinya harus berhadapan dengan raksasa Starbucks yang membuka gerai hanya  bebarapa meter dari tokonya. Namun seiring waktu kekhawatirannya tidak menyebabkan warung kopinya tutup usaha, malah mendapatkan berkah dari kehadiran perusahaan kopi multinasional ini. Keuntungan paling nyata adalah peningkatan jumlah pelanggan yang juga merupakan tamu setia Starbucks. “Don’t fear Starbucks”, demikian inti dari Kasus bisnis ini yang bisa kita baca di Slate, sebuah majalah terkemuka di Amerika. Posting ini untuk anda yang ingin memulai bisnis cafe.

Tentu berlebihan jika mengharapkan kejadian serupa pasti dialami oleh pemilik cafe di kota besar di Indonesia yang berdekatan dengan Starbucks. Banyak faktor seperti demografi pelanggan, tingkat ekonomi, kebiasaan atau kultur kopi yang sangat berbeda antara Amerika dan Indonesia. Akan tetapi sebuah tips yang mereka berikan adalah “jangan ingin menyerupai Starbucks”, karena ia telah lahir dengan kodrat “Starbucks” bukan warung kopi yang lain. Cara bertahan menurut majalah ini adalah dengan mempertahankan keunikan masing2 cafe sebagaimana warung2 kopi kecil di Amerika yang dikenal dengan “Mom & Pop Coffee Houses” yang bersahaja, namun tetap punya pelanggan setia walau mengandalkan mesin kopi otomatis untuk menghemat biaya tenaga kerja.

Sepanjang umur blog Cikopi saya cukup banyak berbicara dengan para pengusaha cafe dan penjual kopi yang sukses yang sebelumnya hampir berhenti di tengah jalan. Di saat genting mereka tetap fokus dan terus berpikir keras mencari konsep yang pas agar produknya bisa diterima. Derby Sumule dari Coffeewar mencetuskan konsep kopi tubruk yang bisa dinikmati di Cafe yang biasanya tergantung pada mesin espresso. Ia tak hirau kalau cafe-nya tidak bisa menyediakan latte karena toh tamunya tidak pernah “kapok”  untuk menikmati kopi Aceh, Timor dan Jawa yang ia racik sendiri dan diseduh dengan moka pot, french press, atau ibrik.

Coba lihat juga Bengawan Solo, warung kopi yang bisa kita temukan di mall2 Jakarta. Mereka tidak perlu menyewa ruang besar untuk cafe-nya, cukup dengan konsep island, atau sepetak ruang yang hanya diisi beberapa kursi saja. Mesin kopinya menggunakan merek Jura yang serba otomatis sehingga cappuccino bisa selalu konsisten tanpa harus memiliki barista yang harus terus dilatih secara khusus.

Lain halnya dengan Badrun, orang Gresik yang begitu gigih membawa kebiasaan kopi lesehan Jawa Timuran ke kota Jogja tempat ia menuntut ilmu di jurusan Hukum Islam, IAIN Sunan Kaijaga. Jadilah konsep kopi Blandongan, sebuah tempat dimana orang-orang pesisir di pantai Jawa Timur  menghabiskan waktu untuk ngopi dan sambil menikmati rokok kretek  setelah seharian bekerja. Ide inilah yang ia bawa ke Jogja  dimana pengunjung bisa bebas duduk, rebahan, sambil main kartu dan catur di warung kopinya yang buka non stop. Sebagai pemilik ia tidak akan pernah tega mengusir tamunya walau seharian nongkrong di warungnya. Badrun menjual kopinya sesuai dengan kantung mahasiswa yang terbatas uang sakunya dengan harga 1700 per cangkir. Kopi Blandongan menjadi fenomena menarik karena sebuah ide orisinal : murah, santai, bersahaja, dan tentu dengan modal beberapa juta rupiah saja saat Badrun memulai bisnisnya. Ide kreatifnya sekarang sudah banyak ditiru, namun kopi Blandongan tetap menjadi pinor bisnis kopi murah di Jogja.
Kisah-kisah di atas semoga bisa memberikan semangat bagi anda yang ingin memulai bisnis kopi dan menciptakan ide nyeleneh agar warung kopinya berbeda dengan yang lain. Sekali lagi, jangan meniru Starbucks :)
Salam.

Sumber : www.cikopi.com